Itu judul diterjemahkan ke dalam bahasa inggris demi kebaikan bersama. Jadi bukan karena sok keinggris-inggrisan atau nggak nasionalis. Ok? 😀
Begini, kalimat itu sebenarnya sudah lama viral sejak salah satu individu atau kelompok mempopulerkan lagu dengan sebagian lirik seperti di atas (jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Pasti tau kan? Yang nggak tau, saya sarankan nggak perlu cari tau. 😀
Bahkan setelah lagunya cukup populer di beberapa kalangan, banyak meme kreatif yang mulai beredar di dunia maya. Entah instagram, facebook, atau di beberapa blog yang merangkum meme dengan tingkat kelucuan yang fantastis (menurut sang penulis). Dan sampai saat ini pun kalimat itu masih banyak digunakan beberapa orang, entah untuk sekedar menanggapi lelucon atau mengungkapkannya sebagai makna yang sebenarnya.
Nah, di sini saya ingin membahas esensi dari kalimat di atas.
Btw, sebelumnya maafkan yaa kalau bahasaku jadi terlalu sopan. Hahaha…
Kapas di Atas Duri
Ibaratnya kita sadar kalau kita salah, tapi bersikap seolah itu bukan hal yang perlu dipersalahkan. Kita tau bahwa diri kita bodoh. Kita dengan tegas menyadarinya, tapi dengan sangat sadar pula tak mau belajar dan segera memperbaikinya. Alih-alih introspeksi diri, justru lebih memilih untuk samar-samar menjadi korban. Layaknya sebuah kapas yang tak sengaja tertancap di atas duri, tak taunya justru kita sendirilah yang menjadi durinya. Hoh. -_-
Hidupku Bukan Hidupmu
Respon orang (yang dihujat) tentu berbeda-beda ya. Ada yang menanggapi dengan kepala dingin, atau justru pakai emosi berapi-api. Atau mungkin malah tak peduli sama sekali.
Pada akhirnya, kekesalan seringkali menjadi ujung tombaknya frustasi. Balik menyerang dengan kalimat-kalimat yang tak seharusnya terucap. Kalap!
Masalahnya, karena penghujat lebih banyak daripada sang bijak. Jadinya, kalimat-kalimat semacam ‘semoga diberi hidayah’, ‘semoga segera sadar’, dan kawan-kawannya jadi menguap hilang seiring muculnya pemikiran bahwa mereka ‘sok peduli’.
“Ini hidupku, urusi saja hidupmu. Nggak usah kepo atau bahkan jadi sok tau.”
Hingga kita menjadi tak sadar, lama kelamaan kalimat semacam itu justru mendorong kita jatuh ke dasar jurang. Karena kita lupa, bahwa kita perlu memperbaiki diri dari kritikan mereka. Karena kita lupa, bahwa kita seharusnya bisa menjadi lebih baik lewat saran mereka.
Saya jadi ingat cuplikan status di sosial media setahun yang lalu…
Benahi Diri
Jadi gini ya.. Kalau kita sudah tau diri kita banyak kesalahan yang perlu diperbaiki, bukankah lebih baik kalau kita segera berbenah? Setidaknya sekali dalam setahun, coba untuk pertimbangkan hal itu. Nah, bentar lagi kan akhir tahun. Bagus tuh buat perenungan. Jadi biar nggak monoton, sekedar bakar jagung sambil nyalain kembang api dan nyanyiin lagunya Tulus berjudul ‘Pamit’ pake suara yang sok dibuat sendu. 😛
Well, seandainya sekali dalam setahun terlalu berat, coba setidaknya sekali seumur hidup. Oh, iya sih. Siapa yang tau umur kita seberapa..?
Beberapa orang mungkin merasa kesal melihat tingkah kita. Banyak dari mereka yang menghujat, mencaci, atau justru memberi saran kebaikan. Lantas, mau sampai kapan kita harus menutup nurani? Daripada berkata “You’re always right and i’m always wrong” dengan mimik muka yang dibuat menyedihkan, akan lebih baik jika berkata “Indeed, this is worse. And I want to be better”.
Pasrah atau Tak Peduli?
Ada prinsip hidup yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “Tak perlu pedulikan orang lain, tetaplah jadi dirimu sendiri.”
Saya ingin coba mengingatkan. Tak semua kalimat semacam itu bisa dipraktikkan dalam segala aspek kehidupan. Kalimat itu hanya patut digunakan ketika apa yang kita lakukan memang baik dan benar. Sesuai dengan apa yang nurani katakan. Bermanfaat juga buat diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Nah, kalo lebih banyak mudharatnya, kenapa pula harus pakai tag prinsip hidup seperti itu? Kan jadi ambigu dengan mereka yang berusaha jadi lebih baik tanpa memikirkan pendapat sekitarnya? Jika faktanya tak banyak manfaat yang didapat dan jelas keluar dari nurani, jangan pernah kita mencoba membuat ‘tameng’ dengan menggunakan kalimat di atas sebagai salah satu prinsip hidup.
Pasrah boleh, tapi jangan menjadi tak peduli. Setiap yang dikatakan oleh seseorang tentang diri kita memang tak sepenuhnya benar. Tapi itu bukan alasan untuk membuat kita jadi acuh tak acuh.
Jika kita baik dan dianggap buruk, maka bersabarlah.
Jika kita buruk dan memang sepenuhnya buruk, perbaikilah diri.
Dan hanya mereka yang tak tulus yang mengatakan kita baik, padahal sudah tau buruk.
Sisi Tersangka
Masih ada di antara kita yang kadang suka jadi tersangka? Entah serius menghujat atau sekedar nimbrung ikut-ikutan, padahal kenal aja nggak?
Boleh saja kita mengkritik tapi tentu harus dalam batasan-batasan yang baik. Gunakan bahasa yang halus dan tidak bertujuan menghakimi. Tempatkan diri di posisi mereka.
Antara kalimat- “Maaf sebelumnya, tapi aku rasa..” -dengan kalimat- “Kamu orang terbodoh yang pernah aku tau!”- kira-kira lebih baik yang mana?
Sekiranya yang tak menyakiti perasaan yang mana? Bahkan jika bisa, saat kita memberi saran, usahakan itu hanya antara ‘saya dan kamu’. Secara pribadi. Tanpa perlu orang lain tau menau.
Sekali lagi, tempatkan diri kita di posisi mereka.
***
At last, maafkan saya jika ada salah kata. Artikel ini ditulis bukan untuk menghakimi sesama, melainkan sebagai pengingat untuk kita semua. Semoga kita selalu ada dalam rahmat-Nya. 🙂
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, (QS. Al-Ahzab: 70).